PERBINCANGAN seputar Blok Masela memang nyaris tidak bisa terlepas dari
hitung-hitungan biaya teknis pembangunan kilangnya, apabila dipilih
kilang darat (OLNG). Terlebih lagi ada upaya dari sementara pihak yang
terus menerus menggiring opini publik, seolah-olah biaya kilang di darat
lebih mahal daripada kilang di laut.
Pihak-pihak itu, dengan
segala sumber daya yang dimiliki, menyatakan bahwa biaya pembangunan
kilang darat P. Aru sebesar US$ 19,3 miliar adalah lebih mahal dari
kilang apung (FLNG). Namun pertanyaannya, apakah angka-angka ini boleh
dikatakan valid, khususnya untuk kilang di darat? Dari mana K3S
(kontraktor kontrak kerja sama) bisa menyampaikan angka-angka tersebut?
Faktanya, teknologi kilang darat sudah lama
proven untuk seluruh
lapangan gas di Indonesia (mulai dari Arun, Bontang sampai Tangguh)
apalagi dasar penilaian dari kilang darat yang kami pakai sudah lama
tersedia dan fisik dari train yang ada di Botang kalau mau lebih
murahpun bisa dipindahkan ke P. Aru dari Bontang (beberapa train yang
belum terpakai).
K3S melakukan penggelembungan biaya-biaya
pembangunan kilang di darat jauh lebih mahal dari batas kewajaran untuk
kilang darat, dengan perhitungan biaya total mencapai US$19.33 miliar
(untuk kapasitas 2x 3.75Juta-ton/tahun). Rincian perhitungan biaya K3S,
yakni well head didasar laut US$2,9miliar, FPSO (Floating Processing
Storage and Offloading) sebesar $4.8miliar, pipanisasi ke darat
US$1,2miliar, proses OLNG jadi gas cair di darat sebesar US$ 9,9
miliar, jauh lebih dari kewajaran harga yang sebenarnya.
Penggelembungan
biaya yang paling jelas adalah di fasilitas FPSO Abadi dan biaya proses
pencairan gas di darat menjadi LNG di darat (P. Aru). Sebagai
referensi, FPSO Egina adalah yang terbesar di dunia dibangun tahun 2014
dan biayanya hanya mencapai US$3 miliar. Coba kita bandingkan dengan
FPSO Belanak yang sekarang sudah beroperasi di Indonesia dari tahun 2004
dengan ukuran kapal FPSO panjang 285m dan lebar 58 meter hanya seharga
US$600 juta. Sedangkan ukuran kapal FPSO Abadi panjang 330 meter dan
lebar 65 meter harganya dipatok K3S US$4,8 miliar. Dibandingkan dengan
ukuran FPSO Belanak, ukuran FPSO Abadi lebih panjang 45 meter dan lebih
lebar 17 meter, padahal FPSO Belanak jauh lebih komplex dari FPSO Abadi.
Wajarnya FPSO Abadi maksimal adalah sebesar US$ 800juta, yang artinya
ada penggelembungan (mark up) harga sebesar US$ 4miliar.
Coba
kita hitung berapa biaya yg dibutuhkan untuk fasilitas pencairan gas
didarat dengan mengacu pada hasil lelang 1 train OLNG di Tangguh Papua
yang baru2 ini (2015) dimenangkan oleh konsorsium 3 perusahan dalam
negeri senilai US$2,43miliar untuk kapasitas pencairan gas sebesar 3,6
Juta-ton/tahun atau US$4,86 miliar (kalau double kapasitas 7,2
juta-ton/tahun di Tangguh yang setara dengan 7,5 juta-ton/tahun untuk
Blok Masela) dibulatkan untuk kesetaraan menjadi US$ 5 miliar.
Bandingkan dengan harga fasilitas pencairan gas didarat (P. Aru) yang
dipatok oleh K3S itu sebesar US$ 9,9miliar, maka ada penggelembungan
uang sebesar US$4,9 miliar.
Maka ada ketidakwajaran dari
perhitungan kewajaran biaya FPSO Abadi ditambah biaya fasilitas proses
LNG di darat (P Aru).
Pipa Hdpe Tangerang Ketidakwajarannya/penggelembungan sebesar US$ 8,9
miliar dari nilai total OLNG yang diajukan kontraktor K3S (US$ 19,33
miliar), itu diluar rincian perhitunganbiaya untuk; well head didasar
laut sebesar US$2,9miliar., dan pipanisasi ke darat US$1,2miliar.
Biaya
Labor cost/indirect cost US$1,7miliar angka yg masuk akal adalah US$700
juta, Biaya jasa saja (tanpa ada beli apa2) dipatok US$ 1,7 miliar
seyogianya US$250 juta bisa ditanya kepada EPC lokal yg mengerjakan OLNG
Arun, Bontang dan Tangguh, Other logistic cost dipatok US$1,85 miliar
seharusnua hanya US$400juta.
Yang menjadi pertanyaan adalah
berapa sebenarnya harga kepatutan total dari biaya kilang didarat (P.
Aru) yang seharusnya menjadi "cost recovery" bagi negara/pemerintah?
Yang pasti bukan sebesar US$19,33 miliar, karena ada ketidakwajaran
biaya sebesar US$8,9 miliar, sehingga biaya yang pantas untuk kilang
OLNG (di P Aru) adalah sebesar US$11,25 miliar.
Pertanyaannya mengapa ada perbedaan jauh dari harga yang dipatok K3S? jawabnya adalah penggelembungan harga untuk political
cost recovery
yang juga dimasukkan kedalam cost recovery. Saat ini semua harga yang
menyangkut bahan baja sedang turun dipasar komoditi besi baja. Prakiraan
biaya LNG darat Masela di Pulau Selaru (sekitar 90 km dari blok Masela)
maksimal sebesar US$11,25 miliar adalah akurat dan jumlah ini sudah
termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat.
Bicara soal biaya, satu hal yang harus disadari, bahwa pada akhirnya semua biaya tersebut akan dibayar negara melalui mekanisme
cost recovery.
Pada titik ini menjadi jelas bahwa sejatinya semuanya tergantung pada
negara bukan K3S, apakah ingin membangun kilang darat atau kilang apung?
Berbeda halnya bila seluruh biaya murni menjadi tanggung jawab K3S,
maka perdebatan soal pilihan pembangunan kilang darat atau apung akan
menjadi sangat jelas nilainya dan manfaat dari pilihan yang ekonomis
bagi negara. Jadi jelas bisa dikatakan bahwa selama ini ada manipulasi
atau pelintiran biaya pembangunan kilang baik di darat maupun apung dari
data yang ada, sehingga seolah-olah biaya kilang apung (FLNG) lebih
murah dibandingkan biaya kilang darat (OLNG). Maka manipulasi itu
bersumber dari data-data yang dipasok K3S yang merupakan calon operator
sekaligus vendor pembangunan kilang dan pemegang lisensi teknoligi FLNG,
jika jadi di laut.
Berbagai pihak-pihak tertentu, dengan segala
sumber daya yang dimiliki, menyatakan bahwa biaya pembangunan kilang
apung sebesar US$ 14,8 miliar yang hanya berdasarkan acuan kilang apung
dari
Prelude yang kalaupun beroperasi baru jadi tahun 2017. Dari
data yang disampaikan di atas jelas sekali kilang apung dipakai acuan
harga
pipa hdpe yang manapun masih jauh lebih mahal dari sejatinya kilang di
darat. Padahal dari perhitungan yang ada untuk biaya kilang apung adalah
sebesar US$18.2 miliar. Sementara itu, biaya pembangunan kilang darat
sengaja dibuat mencapai US$ 19,3 miliar, namun apakah angka-angka itu
valid berdasarkan perhitungan di atas?
Pertanyaannya berdasarkan
perhitungan apa yang K3S gunakan untuk menghitung biaya teknologi kilang
gas alam di darat yang sudah banyak dibangun di Indonesia yang saat ini
mudah untuk dibandingkan (dengan OLNG) yang sudah puluhan tahun
beroperasi di Indonesia? Apalagi insinyur Indonesia sudah memiliki
segudang pengalaman dalam membangun kilang OLNG di Indonesia. Apa dasar
K3S bisa menyampaikan angka-angka tersebut?
Bukan itu saja, saat ini sudah ada rumor kencang di Australia bahwa struktur kapal FLNG untuk
preludeturn down untuk balik ke Onshore dan sangat ironis dan bodoh kalau kita terperosok kedalam teknologi yang tidak
proven yang dua kali lebih besar dari kapasitas
prelude yang kapasitasnya hanya 3,6 juta ton/tahun.
Berbekal
pada asumsi biaya riil sejumlah kilang LNG darat yang sudah ada di
Arun, Bontang, dan Tangguh, maka perkiraan biaya LNG darat Masela di
Pulau Selaru (sekitar 90 km dari blok Masela) tidak akan lebih dari
US$11,25 miliar. Jadi benar ada penggelembungan harga sebesar US$8,9
miliar dari perhitungan di atas dan jumlah ini sudah termasuk biaya
pembangunan
well head di dasar laut dan juga jalur pipa ke darat dan fasilitas pencairan gas alam di darat.
[***]